Selasa, 30 Agustus 2011

JADWAL SHALAT IDUL FITRI, MENGAPA BERBEDA?


JADWAL SHALAT IDUL FITRI, MENGAPA BERBEDA?

Luthfi Bashori

Sejatinya penulis kurang berhasrat untuk menulis artikel yang berkaitan dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri, karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa melihat pelaksanaan shalat Idul Fitri yang sering terjadi perbedaan waktu antara satu kelompok dengan lainnya.

Sehingga fenomena itu sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam tanah air. Namun karena ada permintaan dari pengunjung, mudah-mudahan artikel ini dapat membantu kepentingan persatuan umat Islam.

Kedewasaan berpikir di kalangan umat Islam dapat tumbuh berkembang, justru setelah melihat seringnya terjadi perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Tentunya hal ini sangat menggembirakan. Kerena mereka menyadari bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah sunnah, sedangkan terjadinya pertengkaran yang disebabkan masalah khilafiyah furu`iyah justru hukumnya haram.

Yang dimaksud masalah khilafiyah furu`iyah, adalah masalah cabang agama seperti urusan hukum fiqih yang dihasilkan oleh ijtihad ahli fiqih, contoh kongkritnya adalah fiqih awwal Syawwal/fiqih waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Perbedaan dalam masalah furu`iyah adalah boleh dan sah menurut syariat.

Permasalahnya menjadi lain jika adanya perbedaan itu dalam rana khilafiyah ushuliyah atau aqidah ketauhidan yang hukumnya adalah haram, bahkan terkadang dapat menyebabkan kemurtadan bagi pelaku berbedaan pendapat dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Contoh kongkrit, adalah keyakinan terhadap ke-mahaesa-an Allah, atau keautentikan Alquran.

Jadi, jika ada sekelompok orang yang berbeda pendapat dengan keyakinan mayoritas umat Islam tentang ke-mahaesa-an Allah atau keautentikan Alquran, maka secara otomatis kelompok itu telah murtad, alias keluar dari agama Islam, baik suka atau tidak suka.

Penetapan awwal bulan Syawwal atau waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri adalah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diperbolehkan menurut kaedah fiqhiyah (ijtihadiyah). Karena adanya beberapa faktor ini, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan hasil ijtihad di kalangan para ulama yang ahli di bidangnya. Antara lain :

1. Hisab. Diperbolehkannya menentukan awwal Syawwal dengan metode hisab, atau perhitungan jumlah hari pada tiap bulan dalam masa satu tahun, bahkan untuk selamanya. Perhitungan ini didasari oleh ilmu falak (ilmu perbintangan). Ilmu ini juga dimanfaatkan oleh para ulama untuk menentukan masuknya waktu shalat pada setiap harinya.

Karena pertimbangan ilmu falak ini pula, umat Islam dapat memperkira-kirakan kapan masuk waktu adzan untuk shalat lima waktu. Demikian juga untuk penetapan kapan dilaksanakan shalat Idul Fitri pada setiap tahunnya.

2. Rukyatul hilal. Melihat bulan tsabit yang mucul pada setiap awwal bulan, khususnya bulan Ramadlan. Ilmu ini didasari oleh sabda Nabi SAW : Shuumuu li rukyatih wa afthiruu li rukyatih (Berpuasalah jika kalian melihat bulan stabit, dan ber-idul fitri-lah jika kalian melihat bulan tsabit).

Hadits ini masih sangat umum sifatnya. Maka para ulama menetapkan beberapa kreteria tentang sebatas mana sah tidaknya `hasil rukyah` yang dapat dijadikan acuan penetapan tanggal 1 Syawwal.

Dalam penetapan ini juga sebagai salah satu faktor terjadinya perbedaan pendapat yang menyebabkan terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Ada kelompok yang berpendapat, bahwa yang penting sudah tampak kemunculan hilal (bulan Tsabit), maka sah-lah esok harinya melaksanakan shalat Idul Fitri, kaedah ini mengikuti pertimbangan dhahirnya lafadz hadits.

Ada juga yang berpendapat, sah-nya hilal yang berhasil di rukyah, jika minimal letak hilal sudah 7 derajat di atas ufuk barat. Kaedah ini yang diikuti oleh mayoritas ulama madzhab Syafi`i, madzhabnya bangsa Indonesia.

Menyikapi pendapat madzhab Syafi`i ini pun masih terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat, jika sudah tampak hilal sesuai syaratnya, maka siapapun boleh mengamalkannya, alias keesokan harinya boleh berhari raya.

Namun, menurut pendapat terkuat mengharuskan terlebih dulu adanya itsbat (ketetapan/pengakuan) dari pemerintah (ulul amri). Artinya, jika hasil rukyahnya diitsbat (ditetapkan oleh pemerintah) maka wajib bagi seluruh umat Islam mengamalkannya, artinya esok harinya wajiblah umat Islam berlebaran.

Namun, jika ada rukyah yang memenuhi syarat, tapi tidak diitsbat oleh pemerintah, maka langkah umat Islam adalah, bagi yang melihat (pelaku rukyah) boleh mengamalkannya, demikian juga orang yang mempercayai adanya rukyah tersebut boleh keesokan harinya shalat Idul Fitri.

Sedangkan kelompok umat Islam yang tidak ikut rukyah dan tidak mempercayai hasil rukyah tersebut, maka harus menunggu pengumuman pemerintah, yang mana para pakar ulama yang berafiliasi kepada pemerintah (menteri agama) menggunakan metode istikmal (menyempurnakan hitungan hari pada bulan Ramadlan menjadi genap 30 hari), sehingga hari rayanya bisa dikatakan pada tanggal 31 Ramadlan atau 1 Syawwal, karena asli perhitungan bulan Islam (Qamariyah) adalah penggenapan 30 hari, sedangkan metode hisab dan rukyatul hilal dapat menghasilkan perhitungan yang kurang dari 30 hari. Metode istikmal ini juga telah diatur oleh hadits Nabi SAW.

Dengan adanya perbedaan tentang cara perhitungan semacam inilah, yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri di kalangan pengikut ormas-oramas Islam, yang mana ormas-ormas itu rata-rata memiliki pakar fiqih, khususnya yang berkenaan dengan penentuan pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Belum lagi jika menengok adanya perbedaan penentuan mathla` (tempat dilaksanakannya rukyah). Pengikut madzhab Syafi`i berpendapat bahwa setiap masafah/jarak yang diperbolehkan shalat jama` qashar (sekitar jarak 83 km) diperbolehkan sebagai tempat rukyah (mathla`) jika memungkinkan.

Tapi ada juga kelompok yang menyakini bahwa pelaksanaan shalat Idul Fitri itu tergantung mathla` global alias ikut mathla` Makkah (Saudi Arabiah) untuk seluruh dunia, sehingga kelompok ini menentukan pelaksanaan shalat Idul Fitri mengikuti pelaksanaan shalat Idul Fitri di Makkah.

Di Saudi Arabiah sendiri, tidak pernah terjadi perbedaan waktu dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri, karena di sana tidak ada ormas-ormas Islam yang diperbolehkan berkembang, sehingga keputusan apapun termasuk pelaksanaan shalat Idul Fitri adalah tergantung kebijaksanaan otoritas kerajaan atau kementerian yang ditunjuk.

Sistem pemerintahan Indonesia yang mempermudah berkembangnya ormas-ormas Islam di tengah masyarakat adalah salah satu faktor yang ikut andil, sebagai penyebab adanya perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Karena itu masyarakat dituntut harus saling menghormati.

Sedangkan sistem feodal kerajaan Saudi Arabiah yang mempersempit gerak para ulama itu, justru dapat mempersatukan pelaksanaan shalat Idul Fitri. Bahkan jika ada kesalahan rukyah/hisab dari pihak pemerintahan, sekalipun para ulama mengetahuinya, maka tetap saja penetapan waktu shalat Idul Fitri menjadi hak preogratif atau otoritas pihak kerajaan Saudi Arabiah.

Konon, saat penulis masih bermukim di Makkah antara tahun 1983 - 1991 M, pernah terjadi jumlah bilangan hari pada bulan Ramadlan hanya 28 hari, kemudian dilaksanaan shalat Idul Fitri atas doktrin pemerintah.

Maka saat usai shalat Idul Fitri, para ulama banyak yang mengumumkan agar masyarakat keesokan harinya menambah sendiri puasa Ramadlan (semacam qadha puasa), agar jumlahnya menjadi 29 hari, sebagai jumlah minimal dalam perhitungan bulan Islam (Qamariyah).
MUI: Penetapan 1 Syawal Sudah Sesuai Hadist Nabi
INILAH.COM, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia mengatakan batas dua derajat dalam melihat hilal adalah sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad SAW, dan bukan hanya keputusan ormas tertentu.
“Karena memang harus di rukyah, perintahnya kan harus merukyah, ada Hadist yang mengatakan puasalah kamu karena merukyah hilal dan berlebaran lah karena melihat dan rukyah hilal,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Ma’ruf Amin kepada INILAH.COM, Senin (29/8/2011).
Lebih lanjut Ma’ruf Amin mengatakan menurut ilmu pengetahuan dan kebiasaan, rukyah hilal tidak bisa dilakukan kecuali minimal dua derajat, dan hal ini yang membedakan dengan metode wujudul hilal.
“Karena kalau belum dua derajat tidak bisa dirukyah, kalau belum bisa di rukyah ya berarti genapkan 30 puasa, ini Hadist Nabi yang digunakan untuk semua, bukan cuma Indonesia. Perintah Nabi dalam menentukan hilal harus di rukyah bukan wujudul, kalau wujudul setengah derajat saja sudah keliatan, tapi ini kan harus di rukyah,” jelasnya lagi.
Namun demikian MUI tetap menghargai dan menghormati warga Muhammadiyah yang berlebaran hari ini. “Kita saling menghormati dan menghargai saja. Mari sama-sama menghormati keputusan Muhammadiyah yang berlebaran hari ini,” ucapnya.
Sebelumnya melalui sidang Isbat yang dilakukan pada hari Senin (29/8/2011) kemarin, Pemerintah melalui Menteri Agama memutuskan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada hari Rabu (31/8/2011) besok.
Menag juga menanggapi permintaan ormas-ormas Islam agar pemerintah memfasilitasi pertemuan untuk menyepakati kriteria yang sama dalam penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan Idul Adha sehingga tidak terjadi lagi perbedaan di Indonesia dalam menetapkan hari-hari tersebut.

"Perbedaan masih ada peluang namun pengumuman dilakukan pada saat yang sama," katanya.

Sebelumnya, Ketua Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama Ahmad Jauhari melaporkan dari hasil pemantauan di 96 lokasi dari Banda Aceh hingga Papua, 30 lokasi melaporkan tidak melihat hilal (bulan baru). "Ada juga laporan dari Jepara dan Cakung pada pukul 17.56 WIB mereka melihat hilal," kata Jauhari.

Jauhari memaparkan, ijtima (pertemuan akhir bulan dan awal bulan baru) menjelang syawal jatuh pada Senin, 29 Agustus atau 29 Ramadhan sehingga saat matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuk dengan ketinggian 0 derajat 8 menit sampai 1 derajat 53 menit. Dengan demikian bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) dan 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.

Ketua MUI KH Ma`ruf Amin mengatakan, fatwa MUI 2004 bahwa penetapan dengan metode rukyat dan hisab. Selain itu masyarakat wajib mengikuti penetapan oleh pemerintah. Mengenai laporan dari Jepara dan Cakung, kiai Ma?ruf menyatakan kalau laporan tersebut harus didukung dengan pengetahuan yang memadai.

Kamis, 25 Agustus 2011

KEISTIMEWAAN DAN FADHILAH MALAM BULAN RAMADHAN


RAMADHAN adalah bulan berkah, bulan sejuta hikmah, dan bulan kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Pendek kata, beruntunglah orang-orang yang bertemu dengan Ramadhan dan bisa berbuat kebajikan di dalamnya. Kemuliaan dan keberkahan Ramadhan telah disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

“Wahai segenap manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai kewajiban, dan qiyam di malam harinya sebagai sunah. Barangsiapa menunaikan ibadah yang difardukan, maka pekerjaan itu setara dengan orang mengerjakan 70 kewajiban.

Ramadhan merupakan bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga. Ramadhan merupakan bulan santunan, bulan yang di mana Allah melapangkan rezeki setiap hamba-Nya. Barangsiapa yang memberikan hidangan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dan dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang berpuasa tersebut.” (HR Khuzaimah).

Dari hadis di atas, ada beberapa keutamaan Ramadhan.
 Pertama,  syahrul azhim (bulan yang agung). Azhim adalah nama dan sifat Allah. Namun, juga digunakan untuk menunjukkan kekaguman terhadap kebesaran dan kemuliaan sesuatu. Ramadhan mulia dan agung, karena Allah sendiri telah mengagungkan dan memuliakannya.

Kedua,  syahrul mubarak. Bulan ini penuh berkah, berdayaguna dan bermanfaat. Detik demi detik, waktu yang berjalan pada bulan suci ini, ia bagaikan rangkaian berlian yang sangat berharga bagi orang beriman. Karena semuanya diberkahi dan amal ibadahnya dilipatgandakan.

Ketiga,  syahru shiyam. Pada bulan Ramadhan dari awal hingga akhir kita menegakkan satu dari lima rukun (tiang) Islam yang sangat penting, yaitu shaum (puasa). Keempat, syahru nuzulil qur'an. “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan bagi petunjuk, dan furqan (pembeda).” (Al-Baqarah [2]: 185).

Kelima,  syahrul musawwah (bulan santunan). Di bulan Ramadhan sangat dianjurkan bagi setiap Muslim untuk saling bederma, berkasih sayang dengan sesamanya yang keadaannya jauh memprihatinkan daripada kita.

Keenam,  syahrus shabr (bulan sabar). Bulan Ramadhan melatih jiwa Muslim untuk senantiasa sabar tidak mengeluh dan tahan uji. Sabar adalah kekuatan jiwa dari segala bentuk kelemahan mental, spiritual, dan operasional. Orang bersabar akan bersama Allah sedangkan balasan orang-orang yang sabar adalah surga. Semoga semua bisa memanfaatkan momentum Ramadhan ini untuk memperbanyak ibadah kepada Allah. Amin.


FADHILAH SHOLAT TARAWIH / FADHILAH MALAM BULAN RAMADHAN
Di riwayatkan oleh Saiyidina Ali (r.a.) daripada Rasulullah S.A.W., sebagai jawapan dari pertanyaan sahabat-sahabat Nabi S.A.W. tentang fadhilat (kelebihan) sembahyang sunat tarawih pada bulan Ramadan:

Malam 1:
Keluar dosa-dosa orang mukmin pada malam pertama sepertimana ia baru dilahirkan, mendapat keampunan dari Allah.

Malam 2:
Diampunkan dosa-dosa orang mukmin yang sembahyang tarawih serta kedua ibubapanya (sekiranya mereka orang beriman).

Malam 3:
Berseru Malaikat di bawah ‘Arasy’ supaya kami meneruskan sembahyang tarawih terus-menerus semoga Allah mengampunkan dosa engkau.

Malam 4:
Memperolehi pahala ia sebagaimana pahala orang-orang yang membaca kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran.

Malam 5:
Allah kurniakan baginya pahala seumpama orang sembahyang di Masjidilharam, Masjid Madinah dan Masjidil Aqsa.

Malam 6:
Allah kurniakan pahala kepadanya pahala Malaikat-malaikat yang tawaf di Baitul Ma’mur (70 ribu malaikat sekali tawaf), serta setiap batu-batu dan tanah-tanah mendoakan supaya Allah mengampunkan dosa-dosa orang yang mengerjakan sembahyang tarawih pada malam ini.

Malam 7:
Seolah-olah ia dapat bertemu dengan Nabi Musa serta menolong Nabi ‘Alaihissalam menentang musuh ketatnya Fi’raun dan Hamman.

Malam 8:
Allah mengurniakan pahala orang sembahyang tarawih sepertimana yang telah dikurniakan kepada Nabi Allah Ibrahim ‘Alaihissalam.

Malam 9:
Allah kurniakan pahala dan dinaikkan mutu ibadat hambanya seperti Nabi Muhamad S.A.W.

Malam 10:
Allah Subhanahuwata’ala mengurniakan kepadanya kebaikan di dunia dan akhirat.

Malam 11:
Keluar ia daripada dunia (mati) bersih daripada dosa seperti ia baharu dilahirkan.

Malam 12:
Datang ia pada hari Qiamat dengan muka yang bercahaya (cahaya ibadatnya).

Malam 13:
Datang ia pada hari Qiamat dalam aman sentosa daripada tiap-tiap kejahatan dan keburukan.

Malam 14:
Datang Malaikat menyaksikan ia bersembahyang tarawih, serta Allah tiada menyesatkannya pada hari 
Qiamat.

Malam 15:
Semua Malaikat yang menanggung ‘Arasy, Kursi, berselawat dan mendoakan supaya Allah mengampunkan.

Malam 16:
Allahsubhanahuwata’ala tuliskan baginya terlepas daripada neraka dan dimasukkan ke dalam Syurga.

Malam 17:
Allah kurniakan orang yang bertarawih pahalanya pada malam ini sebanyak pahala Nabi-Nabi.

Malam 18:
Seru Malaikat: Hai hamba Allah sesungguhnya Allah telah redha kepada engkau dan ibubapa engkau (yang masih hidup atau mati).

Malam 19:
Allah Subhanahuwataala tinggikan darjatnya di dalam Syurga Firdaus.

Malam 20:
Allah kurniakan kepadanya pahala sekalian orang yang mati syahid dan orang-orang solihin.

Malam 21:
Allah binakan sebuah istana dalam Syurga daripada nur.

Malam 22:
Datang ia pada hari Qiamat aman daripada tiap-tiap dukacita dan kerisauan (tidaklah dalam keadaan huru-hara di Padang Mahsyar).

Malam 23:
Allah subhanahuwataala binakan kepadanya sebuah bandar di dalam Syurga daripada nur.

Malam 24:
Allah buka peluang 24 doa yang mustajab bagi orang bertarawih malam ini, (elok sekali berdoa ketika dalam sujud).

Malam 25:
Allah Taala angkatkan daripadanya siksa kubur.

Malam 26:
Allah kurniakan kepada orang bertarawih pahala pada malam ini seumpama 40 tahun ibadat.

Malam 27:
Allah kurniakan orang bertarawih pada malam ini ketangkasan melintas atas titian Sirotolmustaqim seperti kilat menyambar.

Malam 28:
Allah Subhanahuwataala kurniakan kepadanya pahala 1000 darjat di akhirat.

Malam 29:
Allah Subhanahuwataala kurniakan kepadanya pahala 1000 kali haji yang mabrur.

Malam 30:
Allah Subhanahuwataala beri penghormatan kepada orang bertarawih pada malam terakhir ini yang teristimewa sekali, lalu berfirman: “Hai hambaKu: Makanlah segala jenis buah-buahan yang engkau ingini hendak makan di dalam syurga, dan mandilah engkau daripada air syurga yang bernama Salsabila, serta minumlah air daripada telaga yang dikurniakan kepada Nabi Muhammad S.A.W. yang bernama ‘Al-Kauthar”.”

FIDYAH DI DALAM PUASA



FIDYAH DI DALAM PUASA

Allah telah menurunkan kewajiban puasa kepada NabiNya yang mulia pada tahun kedua Hijriyah. Puasa pertama kali diwajibkan dengan takhyir (bersifat pilihan). Barangsiapa yang mau, maka dia berpuasa. Dan barangsiapa yang berkehendak, maka dia tidak berpuasa, akan tetapi dia membayar fidyah. Kemudian hukum tersebut dihapus, dan bagi seluruh orang beriman yang menjumpai bulan Ramadhan diperintahkan untuk berpuasa.

Pada zaman sekarang ini, ada sebagian orang yang beranggapan, bahwa seseorang boleh tidak berpuasa meskipun sama sekali tidak ada udzur, asalkan dia mengganti dengan membayar fidyah. Jelas hal ini tidak dibenarkan dalam agama kita.

Untuk memperjelas tentang fidyah, dalam tulisan ini akan kami uraikan beberapa hal berkaitan dengan fidyah tersebut. Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita untuk ilmu yang bermanfa'at, serta amal shalih yang Dia ridhai.

A. DEFINISI FIDYAH
Fidyah (فدية) atau fidaa (فدى) atau fida` (فداء) adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya [1].

Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Adapun fidyah yang akan kita bahas di sini ialah, sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.

B. TAFSIR AYAT TENTANG FIDYAH
Allah telah menyebutkan tentang fidyah dalam KitabNya Yang Mulia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

ا"Beberapa hari yang telah ditentukan, maka barangsiapa di antara kalian yang sakit atau dalam bepergian, wajib baginya untuk mengganti pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), untuk membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin. Barangsiapa yang berbuat baik ketika membayar fidyah (kepada miskin yang lain) maka itu lebih baik baginya, dan apabila kalian berpuasa itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui". [Al Baqarah : 184].

Ulama telah berbeda pendapat dalam hal firman Allah :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

"(Dan wajib bagi orang mampu berpuasa (tapi tidak mengerjakannya), maka dia membayar fidyah dengan memberi makan kepada seorang miskin)".

Apakah ayat ini muhkamah atau mansukhah? Jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan rukhshah ketika pertama kali diwajibkan puasa, karena puasa telah memberatkan mereka. Dahulu, orang yang telah memberikan makan kepada seorang miskin, maka dia tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Salamah bin Akwa`, kemudian ayat ini telah dimansukh dengan firman Allah:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

"(Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah dia berpuasa -Al Baqarah ayat 185-)".

Telah diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu, bahwa ayat di atas tidak dimansukh, akan tetapi sebagai rukhshah, khususnya untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah. Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni يطوقونه . Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.[2]

Dari 'Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Tentang ayat ini, Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini tidaklah dimansukh. Yang dimaksud ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin". [Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Tafsir]. [3]

Berkata Syaikh Abdur Rahman As Sa'di di dalam tafsirnya: "Dan ada pendapat yang lain, bahwa ayat :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Maksudnya mereka yang merasa terbebani dengan puasa dan memberatkan mereka, sehingga tidak mampu mengerjakannya, seperti seorang yang sudah tua; maka dia membayar fidyah untuk setiap hari memberi makan kepada satu orang miskin. Dan ini adalah pendapat yang benar".[4]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin berkata: "Penafsiran Ibnu Abbas dalam ayat ini menunjukkan kedalaman fikihnya, karena cara pengambilan dalil dari ayat ini; bahwa Allah menjadikan fidyah sebagai pengganti dari puasa bagi orang yang mampu untuk berpuasa, jika dia mau maka dia berpuasa; dan jika tidak, maka dia berbuka dan membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus, sehingga diwajibkan bagi setiap orang untuk berpuasa. Maka ketika seseorang tidak mampu untuk berpuasa, yang wajib baginya adalah penggantinya, yaitu fidyah".[5]

C. ORANG-ORANG YANG DIWAJIBKAN UNTUK MEMBAYAR FIDYAH
1. Orang yang tua (jompo) laki-laki dan wanita yang merasa berat apabila berpuasa. Maka ia diperbolehkan untuk berbuka, dan wajib bagi mereka untuk memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Anas, Sa'id bin Jubair, Abu Hanifah, Ats Tsauri dan Auza'i.[6]

2. Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya. Seperti penyakit yang menahun atau penyakit ganas, seperti kanker dan yang semisalnya.

Telah gugur kewajiban untuk berpuasa dari dua kelompok ini, berdasarkan dua hal. Pertama, karena mereka tidak mampu untuk mengerjakannya. Kedua, apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dalam menafsirkan ayat fidyah seperti yang telah dijelaskan di muka.

Masalah : Apabila orang sakit yang tidak diharapkan sembuh ini, setelah dia membayar fidyah kemudian Allah menakdirkannya sembuh kembali, apa yang harus dia lakukan?

Jawab : Tidak wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan, karena kewajiban baginya ketika itu adalah membayar fidyah, sedangkan dia telah melaksanakannya. Oleh karena itu, dia telah terbebas dari kewajibannya, sehingga menjadi gugur kewajibannya untuk berpuasa.[7]

Ada beberapa orang yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah mereka membayar fidyah atau tidak. Mereka, di antaranya ialah :

1. Wanita Hamil Dan Wanita Yang Menyusui.
Bagi wanita hamil dan wanita yang menyusui dibolehkan untuk berbuka. Karena jika wanita hamil berpuasa, pada umumnya akan memberatkan dirinya dan kandungannya. Demikian pula wanita yang menyusui, jika dia berpuasa, maka akan berkurang air susunya sehingga bisa mengganggu perkembangan anaknya.

Dalam hal apakah wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah?
Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi.

Pendapat Pertama : Wajib bagi mereka untuk mengqadha` dan membayar fidyah. Pada pendapat ini pun terdapat perincian. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir akan dirinya saja, maka dia hanya wajib untuk mengqadha` tanpa membayar fidyah. Dan apabila mereka takut terhadap janin atau anaknya, maka dia wajib untuk mengqadha` dan membayar fidyah.

Dalil dari pendapat ini ialah surat Al Baqarah ayat 185, yaitu tentang keumuman orang yang sakit, bahwasanya mereka diperintahkan untuk mengqadha` puasa ketika mereka mampu pada hari yang lain. Sedangkan dalil tentang wajibnya membayar fidyah, ialah perkataan Ibnu Abbas:

اَلْمُرْضِعُ وَالْحُبْلَى إذَا خَافَـتَا عَلىَ أوْلَادِهِمَا أفْطَرَتاَ وَأَطْعَمَتَا

"Wanita menyusui dan wanita hamil, jika takut terhadap anak-anaknya, maka keduanya berbuka dan memberi makan". [HR Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil, 4/18].

Makna yang semisal dengan ini, telah diriwayatkan juga dari Ibnu Umar; dan atsar ini juga dishahihkan Syaikh Al Albani di dalam Irwa'.

Ibnu Qudamah berkata,"Apabila keduanya khawatir akan dirinya saja, maka dia berbuka, dan hanya wajib untuk mengqadha`. Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya khilaf di antara ahlul ilmi, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan dirinya. Namun, jika keduanya takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan wajib untuk mengqadha` dan memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar dan yang mashur dari madzhab Syafi'i. [8]

Pendapat Kedua : Tidak wajib bagi mereka untuk mengqadha', akan tetapi wajib untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih.

Dalil dari pendapat ini ialah hadits Anas:

إنَّ اللهَ وَضَعَ الصِّـيامَ عَنِ الْحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ

"Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari wanita hamil dan wanita yang menyusui". [HR Al Khamsah].

Dan dengan mengambil dari perkataan Ibnu Abbas, bahwa wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anaknya, maka dia berbuka dan memberi makan. Sedangkan Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', namun hanya menyebutkan untuk memberi makan.[*]

Pendapat Ketiga : Wajib bagi mereka untuk mengqadha' saja.
Dengan dalil, bahwa keduanya seperti keadaan orang yang sakit dan seorang yang bepergian. Pendapat ini menyatakan, Ibnu Abbas tidak menyebutkan untuk mengqadha', karena hal itu sudah maklum, sehingga tidak perlu untuk disebutkan. Adapun hadits "Sesungguhnya Allah menggugurkan puasa dari orang yang hamil dan menyusui", maka yang dimaksud ialah, bahwa Allah menggugurkan kewajiban untuk berpuasa, akan tetapi wajib bagi mereka untuk mengqadha'. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah. Juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Ibrahim An Nakha'i. Keduanya berkata tentang wanita yang menyusui dan hamil, jika takut terhadap dirinya atau anaknya, maka keduanya berbuka dan mengqadha' (dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya).

Menurut Syaikh Ibnu 'Utsaimin, pendapat inilah yang paling kuat [9]. Beliau (Syaikh Ibnu 'Utsaimin) mengatakan, seorang wanita, jika dia menyusui atau hamil dan khawatir terhadap dirinya atau anaknya apabila berpuasa, maka dia berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka'bi, dia berkata, Rasulullah telah bersabda:

إِنَّ الهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبِْلَى وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ

"Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir setengah shalat, dan dari musafir dan wanita hamil atau menyusui (dalam hal, Red) puasa". [HR Al Khamsah, dan ini lafadz Ibnu Majah. Hadits ini shahih], akan tetapi wajib baginya untuk mengqadha' dari hari yang dia tinggalkan ketika hal itu mudah baginya dan telah hilang rasa takut, seperti orang sakit yang telah sembuh.[10]

Pendapat ini, juga merupakan fatwa dari Lajnah Daimah, sebagaimana akan kami kutip nash fatwa tersebut dibawah ini.

Pertanyaan Yang Ditujukan Kepada Lajnah Daimah.
Soal : Wanita hamil atau wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya atau terhadap anaknya pada bulan Ramadhan dan dia berbuka, apakah yang wajib baginya? Apakah dia berbuka dan membayar fidyah dan mengqadha'? Atau apakah dia berbuka dan mengqadha', tetapi tidak membayar fidyah? Atau berbuka dan membayar fidyah dan tidak mengqadha'? Manakah yang paling benar di antara tiga hal ini?

Jawab : Apabila wanita hamil, dia khawatir terhadap dirinya atau janin yang dikandungnya jika berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia berbuka, dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Kondisinya dalam hal ini, seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, atau dia khawatir adanya madharat bagi dirinya jika berpuasa. Allah berfirman:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya untuk mengganti dari hari-hari yang lain".

Demikian pula seorang wanita yang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya ketika menyusui anaknya pada bulan Ramadhan, atau khawatir terhadap anaknya jika dia berpuasa, sehingga dia tidak mampu untuk menyusuinya, maka dia berbuka dan wajib baginya untuk mengqadha' saja. Dan semoga Allah memberikan taufiq.[11]

2. Orang Yang Mempunyai Kewajiban Untuk Mengqadha' Puasa, Akan Tetapi Dia Tidak Mengerjakannya Tanpa Udzur Hingga Ramadhan Berikutnya.

Pendapat Yang Pertama : Wajib baginya untuk mengqadha' dan membayar fidyah. Hal ini merupakan pendapat jumhur (Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bahkan menurut madzhab Syafi'i, wajib baginya untuk membayar fidyah dari jumlah ramadhan-ramadhan yang dia lewati (yakni jika dia belum mengqadha' puasa hingga dua Ramadhan berikutnya, maka wajib baginya fidyah dua kali).

Dalil dari pendapat ini adalah:
Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberi makan dan mengqadha' bagi orang yang mengakhirkan hingga Ramadhan berikutnya. (HR Ad Daraquthni dan Al Baihaqi). Akan tetapi, hadits ini dha'if, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Ibnu Abbas dan Abu Hurairah meriwayatkan tentang orang yang mengakhirkan qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, mereka mengatakan, agar (orang tersebut, Red) memberi makan untuk setiap hari kepada seorang miskin.[12]

Pendapat Kedua : Tidak wajib baginya membayar fidyah, akan tetapi dia berdosa, sebab mengakhirkan dalam mengqadha' puasanya. Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, dan merupakan pendapat Al Hasan dan Ibrahim An Nakha'i. Karena hal itu merupakan puasa wajib, ketika dia mengakhirkannya, maka tidak wajib membayar denda berupa fidyah, seperti dia mengakhirkan ibadah yang harus dikerjakan sekarang atau menunda nadzarnya.[13]

Berkata Imam Asy Syaukani: "Maka yang dhahir (pendapat yang kuat) adalah tidak wajib (untuk membayar fidyah)". [14]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Adapun atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mungkin bisa kita bawa hukumnya menjadi sunnah, sehingga tidak wajib untuk membayar fidyah. Sehingga, pendapat yang benar dalam masalah ini (ialah), tidak wajib baginya kecuali untuk berpuasa, meskipun dia berdosa karena mengakhirkan dalam menngqadha". [15]

Hal ini (berlaku, Red) bagi orang yang mengakhirkan tanpa udzur. Berarti, (bagi) orang yang mengakhirkan mengqadha' hingga Ramadhan berikutnya karena udzur, seperti karena sakit atau bepergian, atau waktu yang sangat sempit, maka tidak wajib juga untuk membayar fidyah.

Masalah : Apabila ada orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pertama : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Apabila sakitnya berlanjut kemudian dia mati, maka tidak wajib untuk membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha', kemudian mati sebelum mengerjakannya.

Kedua : Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, namun kemudian mati sebelum mengqadha'nya, maka diperintahkan untuk dibayarkan fidyah dari hari yang dia tinggalkan, diambilkan dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha', tetapi karena dia mengakhirkannya hingga mati, maka dibayarkan untuknya fidyah.

Ketiga : Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[16]

D. JENIS DAN KADAR DARI FIDYAH.
Tidak disebutkan di dalam nash Al Qur`an atau As Sunnah tentang kadar dan jenis fidyah yang harus dikeluarkan. Sesuatu yang tidak ditentukan oleh nash maka kita kembalikan kepada 'urf (kebiasaan yang lazim). Oleh karena itu, dikatakan sah dalam membayar fidyah, apabila kita sudah memberikan makan kepada seorang miskin, baik berupa makan siang atau makan malam, ataupun memberikan kepada mereka bahan makanan sehingga mereka memilikinya.

Pendapat Ulama Tentang Kadar Dan Jenis Fidyah.
Berkata Imam An Nawawi: "(Pendapat pertama), kadar (fidyah) ialah satu mud dari makanan untuk setiap hari. Jenisnya, seperti jenis makanan pada zakat fithrah. Maka yang dijadikan pedoman ialah keumuman makanan penduduk di negerinya. Demikian ini pendapat yang paling kuat. Dan ada pendapat yang kedua, yaitu mengeluarkan seperti makanan yang biasa dia makan setiap hari. Dan pendapat yang ketiga, diperbolehkan untuk memilih di antara jenis makanan yang ada".

Imam An Nawawi juga berkata: "Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung, sawiq (tepung yang sangat halus), atau biji-bijian yang sudah rusak, atau (tidak sah) jika membayar fidyah dengan nilainya (uang, Pen.), dan tidak sah juga (membayar fidyah) dengan yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan.

Fidyah tersebut dibayarkan hanya kepada orang fakir dan miskin. Setiap satu mud terpisah dari satu mud yang lainnya. Maka boleh memberikan beberapa mud dari satu orang dan dari fidyah satu bulan untuk seorang faqir saja". [17]

Ukuran Satu Mud.
Satu mud adalah seperempat sha'. Dan sha' yang dimaksud ialah sha' nabawi, yaitu sha'-nya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Satu sha' nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. [18]

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha' nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha' nabawi sama dengan 3000 gram. [19]

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha' (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

E. BAGAIMANA CARA MEMBAYAR FIDYAH
Cara membayar fidyah bisa dilakukan dengan dua hal.

Pertama : Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang-orang miskin sejumlah hari-hari yang dia tidak berpuasa, sebagaimana hal ini dikerjakan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau tua.

Disebutkan dari Anas bin Malik, bahwasanya beliau lemah dan tidak mampu untuk berpuasa pada satu tahun. Maka beliau membuatkan satu piring besar dari tsarid (roti). Kemudian beliau memanggil tigapuluh orang miskin, dan mempersilahkan mereka makan hingga kenyang. (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa'ul Ghalil).

Kedua : Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Para ulama berkata: "Dengan satu mud dari burr (biji gandum), atau setengah sha' dari selainnya. Akan tetapi, sebaiknya diberikan sesuatu untuk dijadikan sebagai lauknya dari daging, atau selainnya, sehingga sempurna pengamalan terhadap firman Allah yang telah disebutkan".

F. WAKTU MEMBAYAR FIDYAH.
Adapun waktu membayar fidyah terdapat pilihan. Jika dia mau, maka membayar fidyah untuk seorang miskin pada hari itu juga. Atau jika dia berkehendak, maka mengakhirkan hingga hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana dikerjakan sahabat Anas ketika beliau tua. Dan tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan, karena hal itu seperti mendahulukan puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban.