Selasa, 30 Agustus 2011

JADWAL SHALAT IDUL FITRI, MENGAPA BERBEDA?


JADWAL SHALAT IDUL FITRI, MENGAPA BERBEDA?

Luthfi Bashori

Sejatinya penulis kurang berhasrat untuk menulis artikel yang berkaitan dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri, karena masyarakat Indonesia sudah terbiasa melihat pelaksanaan shalat Idul Fitri yang sering terjadi perbedaan waktu antara satu kelompok dengan lainnya.

Sehingga fenomena itu sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam tanah air. Namun karena ada permintaan dari pengunjung, mudah-mudahan artikel ini dapat membantu kepentingan persatuan umat Islam.

Kedewasaan berpikir di kalangan umat Islam dapat tumbuh berkembang, justru setelah melihat seringnya terjadi perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Tentunya hal ini sangat menggembirakan. Kerena mereka menyadari bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah sunnah, sedangkan terjadinya pertengkaran yang disebabkan masalah khilafiyah furu`iyah justru hukumnya haram.

Yang dimaksud masalah khilafiyah furu`iyah, adalah masalah cabang agama seperti urusan hukum fiqih yang dihasilkan oleh ijtihad ahli fiqih, contoh kongkritnya adalah fiqih awwal Syawwal/fiqih waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Perbedaan dalam masalah furu`iyah adalah boleh dan sah menurut syariat.

Permasalahnya menjadi lain jika adanya perbedaan itu dalam rana khilafiyah ushuliyah atau aqidah ketauhidan yang hukumnya adalah haram, bahkan terkadang dapat menyebabkan kemurtadan bagi pelaku berbedaan pendapat dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Contoh kongkrit, adalah keyakinan terhadap ke-mahaesa-an Allah, atau keautentikan Alquran.

Jadi, jika ada sekelompok orang yang berbeda pendapat dengan keyakinan mayoritas umat Islam tentang ke-mahaesa-an Allah atau keautentikan Alquran, maka secara otomatis kelompok itu telah murtad, alias keluar dari agama Islam, baik suka atau tidak suka.

Penetapan awwal bulan Syawwal atau waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri adalah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diperbolehkan menurut kaedah fiqhiyah (ijtihadiyah). Karena adanya beberapa faktor ini, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan hasil ijtihad di kalangan para ulama yang ahli di bidangnya. Antara lain :

1. Hisab. Diperbolehkannya menentukan awwal Syawwal dengan metode hisab, atau perhitungan jumlah hari pada tiap bulan dalam masa satu tahun, bahkan untuk selamanya. Perhitungan ini didasari oleh ilmu falak (ilmu perbintangan). Ilmu ini juga dimanfaatkan oleh para ulama untuk menentukan masuknya waktu shalat pada setiap harinya.

Karena pertimbangan ilmu falak ini pula, umat Islam dapat memperkira-kirakan kapan masuk waktu adzan untuk shalat lima waktu. Demikian juga untuk penetapan kapan dilaksanakan shalat Idul Fitri pada setiap tahunnya.

2. Rukyatul hilal. Melihat bulan tsabit yang mucul pada setiap awwal bulan, khususnya bulan Ramadlan. Ilmu ini didasari oleh sabda Nabi SAW : Shuumuu li rukyatih wa afthiruu li rukyatih (Berpuasalah jika kalian melihat bulan stabit, dan ber-idul fitri-lah jika kalian melihat bulan tsabit).

Hadits ini masih sangat umum sifatnya. Maka para ulama menetapkan beberapa kreteria tentang sebatas mana sah tidaknya `hasil rukyah` yang dapat dijadikan acuan penetapan tanggal 1 Syawwal.

Dalam penetapan ini juga sebagai salah satu faktor terjadinya perbedaan pendapat yang menyebabkan terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Ada kelompok yang berpendapat, bahwa yang penting sudah tampak kemunculan hilal (bulan Tsabit), maka sah-lah esok harinya melaksanakan shalat Idul Fitri, kaedah ini mengikuti pertimbangan dhahirnya lafadz hadits.

Ada juga yang berpendapat, sah-nya hilal yang berhasil di rukyah, jika minimal letak hilal sudah 7 derajat di atas ufuk barat. Kaedah ini yang diikuti oleh mayoritas ulama madzhab Syafi`i, madzhabnya bangsa Indonesia.

Menyikapi pendapat madzhab Syafi`i ini pun masih terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat, jika sudah tampak hilal sesuai syaratnya, maka siapapun boleh mengamalkannya, alias keesokan harinya boleh berhari raya.

Namun, menurut pendapat terkuat mengharuskan terlebih dulu adanya itsbat (ketetapan/pengakuan) dari pemerintah (ulul amri). Artinya, jika hasil rukyahnya diitsbat (ditetapkan oleh pemerintah) maka wajib bagi seluruh umat Islam mengamalkannya, artinya esok harinya wajiblah umat Islam berlebaran.

Namun, jika ada rukyah yang memenuhi syarat, tapi tidak diitsbat oleh pemerintah, maka langkah umat Islam adalah, bagi yang melihat (pelaku rukyah) boleh mengamalkannya, demikian juga orang yang mempercayai adanya rukyah tersebut boleh keesokan harinya shalat Idul Fitri.

Sedangkan kelompok umat Islam yang tidak ikut rukyah dan tidak mempercayai hasil rukyah tersebut, maka harus menunggu pengumuman pemerintah, yang mana para pakar ulama yang berafiliasi kepada pemerintah (menteri agama) menggunakan metode istikmal (menyempurnakan hitungan hari pada bulan Ramadlan menjadi genap 30 hari), sehingga hari rayanya bisa dikatakan pada tanggal 31 Ramadlan atau 1 Syawwal, karena asli perhitungan bulan Islam (Qamariyah) adalah penggenapan 30 hari, sedangkan metode hisab dan rukyatul hilal dapat menghasilkan perhitungan yang kurang dari 30 hari. Metode istikmal ini juga telah diatur oleh hadits Nabi SAW.

Dengan adanya perbedaan tentang cara perhitungan semacam inilah, yang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri di kalangan pengikut ormas-oramas Islam, yang mana ormas-ormas itu rata-rata memiliki pakar fiqih, khususnya yang berkenaan dengan penentuan pelaksanaan shalat Idul Fitri.

Belum lagi jika menengok adanya perbedaan penentuan mathla` (tempat dilaksanakannya rukyah). Pengikut madzhab Syafi`i berpendapat bahwa setiap masafah/jarak yang diperbolehkan shalat jama` qashar (sekitar jarak 83 km) diperbolehkan sebagai tempat rukyah (mathla`) jika memungkinkan.

Tapi ada juga kelompok yang menyakini bahwa pelaksanaan shalat Idul Fitri itu tergantung mathla` global alias ikut mathla` Makkah (Saudi Arabiah) untuk seluruh dunia, sehingga kelompok ini menentukan pelaksanaan shalat Idul Fitri mengikuti pelaksanaan shalat Idul Fitri di Makkah.

Di Saudi Arabiah sendiri, tidak pernah terjadi perbedaan waktu dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri, karena di sana tidak ada ormas-ormas Islam yang diperbolehkan berkembang, sehingga keputusan apapun termasuk pelaksanaan shalat Idul Fitri adalah tergantung kebijaksanaan otoritas kerajaan atau kementerian yang ditunjuk.

Sistem pemerintahan Indonesia yang mempermudah berkembangnya ormas-ormas Islam di tengah masyarakat adalah salah satu faktor yang ikut andil, sebagai penyebab adanya perbedaan waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri. Karena itu masyarakat dituntut harus saling menghormati.

Sedangkan sistem feodal kerajaan Saudi Arabiah yang mempersempit gerak para ulama itu, justru dapat mempersatukan pelaksanaan shalat Idul Fitri. Bahkan jika ada kesalahan rukyah/hisab dari pihak pemerintahan, sekalipun para ulama mengetahuinya, maka tetap saja penetapan waktu shalat Idul Fitri menjadi hak preogratif atau otoritas pihak kerajaan Saudi Arabiah.

Konon, saat penulis masih bermukim di Makkah antara tahun 1983 - 1991 M, pernah terjadi jumlah bilangan hari pada bulan Ramadlan hanya 28 hari, kemudian dilaksanaan shalat Idul Fitri atas doktrin pemerintah.

Maka saat usai shalat Idul Fitri, para ulama banyak yang mengumumkan agar masyarakat keesokan harinya menambah sendiri puasa Ramadlan (semacam qadha puasa), agar jumlahnya menjadi 29 hari, sebagai jumlah minimal dalam perhitungan bulan Islam (Qamariyah).
MUI: Penetapan 1 Syawal Sudah Sesuai Hadist Nabi
INILAH.COM, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia mengatakan batas dua derajat dalam melihat hilal adalah sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad SAW, dan bukan hanya keputusan ormas tertentu.
“Karena memang harus di rukyah, perintahnya kan harus merukyah, ada Hadist yang mengatakan puasalah kamu karena merukyah hilal dan berlebaran lah karena melihat dan rukyah hilal,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Ma’ruf Amin kepada INILAH.COM, Senin (29/8/2011).
Lebih lanjut Ma’ruf Amin mengatakan menurut ilmu pengetahuan dan kebiasaan, rukyah hilal tidak bisa dilakukan kecuali minimal dua derajat, dan hal ini yang membedakan dengan metode wujudul hilal.
“Karena kalau belum dua derajat tidak bisa dirukyah, kalau belum bisa di rukyah ya berarti genapkan 30 puasa, ini Hadist Nabi yang digunakan untuk semua, bukan cuma Indonesia. Perintah Nabi dalam menentukan hilal harus di rukyah bukan wujudul, kalau wujudul setengah derajat saja sudah keliatan, tapi ini kan harus di rukyah,” jelasnya lagi.
Namun demikian MUI tetap menghargai dan menghormati warga Muhammadiyah yang berlebaran hari ini. “Kita saling menghormati dan menghargai saja. Mari sama-sama menghormati keputusan Muhammadiyah yang berlebaran hari ini,” ucapnya.
Sebelumnya melalui sidang Isbat yang dilakukan pada hari Senin (29/8/2011) kemarin, Pemerintah melalui Menteri Agama memutuskan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada hari Rabu (31/8/2011) besok.
Menag juga menanggapi permintaan ormas-ormas Islam agar pemerintah memfasilitasi pertemuan untuk menyepakati kriteria yang sama dalam penentuan awal Ramadhan, 1 Syawal dan Idul Adha sehingga tidak terjadi lagi perbedaan di Indonesia dalam menetapkan hari-hari tersebut.

"Perbedaan masih ada peluang namun pengumuman dilakukan pada saat yang sama," katanya.

Sebelumnya, Ketua Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama Ahmad Jauhari melaporkan dari hasil pemantauan di 96 lokasi dari Banda Aceh hingga Papua, 30 lokasi melaporkan tidak melihat hilal (bulan baru). "Ada juga laporan dari Jepara dan Cakung pada pukul 17.56 WIB mereka melihat hilal," kata Jauhari.

Jauhari memaparkan, ijtima (pertemuan akhir bulan dan awal bulan baru) menjelang syawal jatuh pada Senin, 29 Agustus atau 29 Ramadhan sehingga saat matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuk dengan ketinggian 0 derajat 8 menit sampai 1 derajat 53 menit. Dengan demikian bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) dan 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.

Ketua MUI KH Ma`ruf Amin mengatakan, fatwa MUI 2004 bahwa penetapan dengan metode rukyat dan hisab. Selain itu masyarakat wajib mengikuti penetapan oleh pemerintah. Mengenai laporan dari Jepara dan Cakung, kiai Ma?ruf menyatakan kalau laporan tersebut harus didukung dengan pengetahuan yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar